Tak seperti kebanyakan mualaf yang menghadapi banyak kendala ketika memilih Islam, Mahsita D Sari berjalan mulus.
Selain aktif membina di TPA, Sita dan teman-teman Muslim di Australia juga sering berdakwah melalui kegiatan sosial seperti Feed the Homeless (Memberi makan para tunawisma, Clean-Up Australia Day dan kegiatan lainnya.[Republika]
Wanita kelahiran Jakarta, 16 November 1981, bersyukur mendapatkan kemudahan ketika menyatakan sebagai seorang Muslimah.
”Alhamdulillah tak ada kendala yang berarti,” ungkap wanita yang bekerja di Manufacturing Engineer Section Leader di ResMed LTD, Sydney, Australia melalui surat elektrnoik kepada Republika.
Master Engineering Science dari University of New South Wales ini mengaku justru mamanya yang sangat berperan ia menjadi seorang Muslimah.
”Yang paling banyak mendukung dalam
mempelajari Islam adalah mama. Kami belajar Islam di waktu yang sama dan
secara tidak sadar kami saling memacu satu sama lain,” paparnya.
Sita, begitu ia akrab disapa, dibesarkan
di sekolah Katolik mulai Taman Kanak-kanak hingga SMP. Demikian juga
dengan kakak-kakak dan adik-adiknya, waktu itu ibunya seorang Kristiani.
Sewaktu kecil, Sita sering diajak orang
tuanya ke panti asuhan Kristen. ”Kami dididik orang tua jika ingin
pakaian baru, maka pakaian lama harus diberikan kepada panti asuhan.
Istilahnya beli satu baju baru berarti memberi satu baju lama,”
kenangnya.
Begitu akan melanjutkan pendidikan ke
jenjang SMA, Sita mengaku tergugah mencari tahu tentang Islam. Karena
itu, ia berminat masuk SMA Negeri karena ada pelajaran agama Islam.
”Inilah awal dorongan untuk memeluk
Islam. Waktu itu saya ada pilihan untuk melanjutkan ke sekolah Katolik
atau di sekolah Negeri. Hati saya gundah gulana setiap kali saya ke SMA
Katolik,” ungkapnya.
Akhirnya ia memutuskan masuk SMU Negeri
walaupun diakuinya ada rasa takut karena harus belajar agama Islam.
”Agama yang tidak saya kenal walaupun di waktu kecil pernah belajar
mengaji sebentar,” paparnya polos.
Rasanya saat itu, kata dia, pelajaran IPA
tidak semenakutkan belajar agama Islam. ”Saya sempat stress karena
waktu Penataran ada jadwal Shalat Zhuhur yang dilanjutkan dengan membaca
Al-Qur’an sementara saya tidak bisa membaca Al-Qur’an.”
Jalan keluarnya, bersama sang mama, ia
mencari Alqur’an dan terjemah. ”Alhamdulillah di sebuah toko buku Islam
di Jakarta ada yang menjual Alqur’an dengan bahasa Arab dan latin. Hati
agak tenang walau saya belum tahu bagaimana menavigasi isi Al-Qur’an,”
ujarnya.
Sebagai upaya agar nilai pelajaran Agama
tidak merah dan bisa naik kelas, Sita mulai belajar mengaji di rumah.
Melalui besan dari kakaknya mama, keluarga Sita mendapatkan guru
mengaji. ”Alhamdulillah, bersamaan dengan Sita belajar Islam di sekolah,
kami sekeluarga juga mulai terbuka terhadap agama Islam,” jelasnya.
Awal belajar Islam di SMA penuh suka
duka. Pertama kali ulangan agama stressnya luar biasa. Tulisan Arab ia
hafalkan, belajar semalam suntuk dan besoknya curi-curi belajar di kelas
sedangkan teman-teman dari Al Azhar tenang-tenang saja.
Waktu menerima hasil ulangan lebih
was-was lagi dan kecewa berat karena guru Agama memberinya nilai huruf V
terbalik sementara teman-teman kebanyakan paling tidak mendapat huruf V
yang masih ada artinya dibanding V terbalik… Beberapa bulan baru saya
tahu kalau V terbalik itu adalah angka delapan dalam bahasa Arab.
Tidak lama kemudian sang mama memberitahu
Sita dan keluarga akan pergi umrah. ”Saya pun mencari tahu apa itu
umrah? Apa yang harus dilakukan, apa maknanya. Berbagai buku saya baca
mulai dari bacaan shalat sampai tata cara umrah.”
Semuanya mengenai ibadah. ”Fokus saya
saat itu, saya harus tahu tentang agama Islam supaya saya bisa naik
kelas dan tahu umrah itu apa. Hal ini ternyata membuka tidak hanya
wawasan, juga hati saya. Kedekatan saya kepada Allah semakin terasa di
waktu umrah,” ungkapnya penuh syukur.
Kenikmatan apa yang di rasakan setelah menjadi Muslimah?
Menurut Sita, Islam itu begitu pribadi,
menenangkan jiwa dan kedekatan kepada Allah terasa lebih mudah. ”Sesuatu
yang tidak saya rasakan sebelumnya,” ungkapnya penuh syukur.
Dalam kesulitan membaca Al Qur’an, kata
dia, Allah Subhanahu Wa Ta’ala meringankan dan mendekatkan hati untuk
membacanya dan terus berusaha. Saat hati gundah dan pikiran kusut,
berdzikr menenangkan hati dan pikiran.
”Saat bingung harus bagaimana dan diri
pasrah seringkali jawaban itu hadir saat membuka Al Qur’an. Halaman yang
terbuka mengandung ayat jawaban dari masalah yang ada,” ujar Sita yang
pernah aktif di The Dawn Quranic Institute dan Daar Aisha College, Sydney secara part time.
Sita membenarkan nasihat sang mama. “when you are close to Allah problems will revolve around you and it won’t affect you” (Ketika kamu dekat dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, persoalan yang berputar di sekitarmu, tidak akan memengaruhimu).
Sita mengaku tahu tentang Islam melalui
tetangga yang juga guru ngaji di waktu kecil. Waktu itu pengetahuannya
terbatas pada soal Ramadaan dan shalat taraweh di Komplek.
Pengalaman Umrah dan Haji
”Saya mulai mengenal dan belajar apa itu
Islam tahun 1997 saat SMA. Umrah adalah titik balik dari hidup saya.
Saat umrah ada seorang ibu asing yang mengajarkan tata cara shalat
kepada Mama dan Sita di Masjid Nabawi waktu kami sedang menunggu waktu
Shalat di Raudhah,” ungkapnya.
”Ibu tersebut mengantar kami ke Raudhah
dan menuntun kami ke makam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ibu
itu juga menunjukkan lokasi rumah Rasulullah SAW dan Fatimah Al Zahra.
Perjalanan umrah itu menjadi perjalanan spiritual yang sangat berkesan,”
paparnya haru.
Enam bulan kemudian, kata Sita, ia dan
sekeluarga pergi haji. ”Subhanallah, dalam ibadah yang sibuk dan
memerlukan banyak energi, banyak kemudahan yang kami rasakan,” ujarnya.
Menjelang kepulangan ke Tanah Air, sang
kakak bertanya apakah ia akan tetap memakai hijab. ”Jawaban saya saat
itu saya ingin pakai tapi saya masih ingin bermain basket dan segala
kegiatan lain,” kata Sita.
”Kakak saya bilang dalam Al Qur’an Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman memakai hijab itu wajib. Pipi saya panas
seperti ditampar, saya baru tahu memakai hijab itu wajib. Sepulang haji,
saya memutuskan memakai hijab. Waktu itu saya kelas 2 SMA,” ungkapnya.
Pengalaman di Australia
Sita yang aktif dalam berbagai kegiatan Islam di Australia seperti menjadi mentor Islamic Youth Camp di Canberra tahun 2012 lalu serta kegiatan Islam lainnya, mengaku senang tinggal di Australia.
Di Sydney misalnya, kata Sita, bisa
memilih untuk hidup di lokasi yang banyak komunitas Muslimnya dan
sepanjang mata memandang mayoritas adalah kaum Muslimin atau di
lokasi-lokasi lain. Walau demikian, sambung Sita, ber-Islam di Australia
bisa dibilang memerlukan kepercayaan diri untuk tampil berbeda.
”Pertama tiba di Australia saya tinggal
dengan Paman yang tinggal di daerah Northern Beaches di Sydney yang
Muslimnya masih sangat sedikit.”
Menuju tempat kuliah, ia memerlukan
perjalanan 1,5 jam dengan transport umum dari rumah. Sepanjang
perjalanan selalu bertemu orang Australia, baru bertemu warga Asia kalau
sudah di daerah kota (Sydney City).
Sita mengaku tak jarang mendapatkan
pertanyaan, ”Mengapa kamu menutup kepala kamu? Apa kamu tidak kepanasan,
ini kan sedang musim panas? Kamu Islam liberal atau radikal?” ungkapnya
getir.
Semua itu memuncak, setelah peristiwa
jatuhnya Twin Tower – September 11, tak lama ia menetap di Sydney.
Ujiannya, sambung Sita, tak hanya sekadar ditanya mengenai hijab atau
Islam tapi juga ujian kesabaran.
”Kebencian terhadap Islam memuncak saat
itu karena kebencian itu didasari oleh ketidaktahuan. Beberapa kali saya
dimaki karena saya seorang Muslimah dan mereka tidak terima “saya” atau
“kaum muslimin” menghancurkan the twin towers dan menyebabkan banyak nyawa melayang.”
Sekali waktu di jalan, Sita disemprot dan
dimaki orang-orang yang sedang naik mobil padahal mereka tak mengenal
Sita. Tetapi melalui semua ini, ia dan kawan-kawannya dalam the Islamic Society di University of New South Wales dan di pengajian Keluarga Pelajar Islam Indonesia (KPII) justru semakin dekat dengan satu sama lain dan semakin teguh iman Islamnya.
”Persaudaraan kami menjadi lebih erat dan
kami jadi mencari tahu lebih lagi tentang Islam terutama bagaimana cara
terbaik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang Islam dan
berdakwah.”
Sita mengungkapkan, dua sahabat
terdekatnya memakai jilbab waktu di Sydney. Di perusahaannya, awalnya
hanya Sita yang memakai hijab. ”Alhamdulillah dalam dua tahun terakhir
sudah ada dua Muslimah lain yang mengenakan hijab dan diterima bekerja
di perusahaan saya. Semua itu ada hikmahnya. Alhamdulillah,” ungkapnya
semringah.
Di Sydney selain bekerja, Sita mengajar
anak-anak di salah satu TPA, bantu-bantu di kepengurusan Masjid Al
Hijrah dan sekarang belajar tajwid dan hafalan Al Qur’an.
Sita bersyukur, banyak masjid yang
menyelenggarakan kegiatan agama seperti ceramah Sabtu malam atau pun
ceramah Jum’at. Ada juga TPA (Taman Pendidikan Alquran) yang di
Australia dikenal sebagai Saturday School. ”Juga ada organisasi
kemasyarakatan dan institusi pendidikan yang menyelenggarakan belajar
agama baik secara gratis ataupun membayar.”
Ia mengakui, suasana ber-Islam di
Australia sangat terasa terutama di bulan Ramadhaan. ”Masjid-masjid
menyelenggarakan i’tikaf terutama di 10 hari terakhir. Banyak kawan yang
mengambil cuti di 10 hari terakhir agar bisa memaksimalkan ibadah.”
Masjid Al Hijrah, Tempat Sita aktif
membantu, biasanya mengundang ustadz dari Indonesia mengisi kegiatan
sepanjang bulan Ramadhaan. ”Masjid lainnya, ada juga yang mengundang
sheikh dari negara lain.”
Jum’at, Sabtu dan Ahad malam di bulan Ramadhan, kata Sita, biasanya penuh dengan iftar (buka puasa) di masjid atau iftar fund-raising untuk berbagai kegiatan kemanusiaan di seluruh dunia. Pernah juga ada iklan billboard tentang Islam beberapa waktu lalu.
Aktivitas Sita dalam kegiatan TPA di
Sydney memberikan pengalaman menarik baginya. Siswanya mulai usia 2.5
tahun, yang awalnya tidak tahu apa-apa tentang agama dan belajar sambil
main-main atau lari-lari karena usianya memang usia bermain, berubah
menjadi ingin belajar dan selalu menunggu-nunggu waktu shalat.
”Pernah saat perubahan waktu shalat,
anak-anak yang biasanya shalat dulu baru makan siang jadwalnya diganti
menjadi makan siang dulu lalu shalat. Saat disajikan makan siang
beberapa dari mereka spontan bilang “kita kan belum shalat. Makannya
setelah shalat saja.”
Yang menarik, sambung Sita, semangat belajar para siswanya akhrinya menarik orang tuanya untuk lebih serius belajar agama.
”Saat anak-anak belajar, ibu-ibu yang
menunggu pun mengaji. Anak dan ibu kadang berlomba untuk bisa membaca Al
Qur’an. Sungguh suatu keberkahan bisa menyaksikan dan terlibat dalam
perubahan baik ini,” ungkapnya penuh syukur.
Sita menuturkan, dari berbagai observasi
menyebutkan, dakwah terbaik adalah melalui amal perbuatan.
Kawan-kawannya non-Muslim mengatakan perilaku umat Muslim membentuk
persepsi mereka akan Islam.
0 Response to "Mahsita D Sari, Islam Menenangkan Jiwa"
Post a Comment