Tentang Hidup



Suatu hari, datang sebuah rombongan sirkus dari India ke kota Madinah. Di dalam rombongan tersebut ada beberapa ekor gajah dengan langkah kakinya yang berdentum menggetarkan dan lengking suaranya yang nyaring memekakkan. Maka gemparlah orang sekota, termasuk murid-murid Imam Malik yang saat itu tengah ta’lim (ngaji) di masjid Nabawi. Mereka bubar berhamburan ingin melihat gajah, hewan raksasa yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Hingga tinggallah sang imam, duduk berhadapan hanya dengan salah seorang muridnya. Abdullah ibnu Wahab nama murid tersebut, seorang pelajar belia yang berasal dari negeri fir’aun, Mesir. Beberapa saat lamanya keduanya hanya duduk diam dengan berbagai kecamuk perasaan.

“Engkau tidak ingin melihat gajah, Nak?” Tegur Imam Malik lembut, menyangka bahwa sang murid tinggal di tempat karena sungkan kepadanya. Sehingga dengan pertanyaan itu, sang imam bermaksud mengisyaratkan kerelaan hatinya jika Ibnu Wahab pun hendak menyaksikan gajah seperti teman-temannya yang lain. 

“Guru…,” sahut Ibnu Wahab takzim, “Jauh-jauh saya datang kemari adalah untuk belajar ilmu kepadamu, bukan untuk melihat gajah.”

Senyum haru menyeruak kecil di sudut bibir sang imam. Tatapan lembutnya trenyuh membelai kepala sang murid dengan penuh ruapan kasih sayang. Maka tercatat sejak hari itu, Ibnu Wahab menjadi murid kesayangan Imam Malik. Ia bukan hanya tekun menyimak untaian benih ilmu yang ditebarkan sang guru, namun juga sabar menahan diri untuk tidak ikut-ikutan teman-temannya yang kadang mencari hiburan untuk membuang waktu. Hingga kelak di kemudian hari, Ibnu Wahab tampil sebagai ulama besar yang menjadi rujukan kaum muslimin di negeri Mesir, bahkan murid-murid Imam Malik yang lain juga akan menempatkan beliau sebagai rujukan pertama mengenai pendapat-pendapat sang imam.

Sahabat, kisah di atas meski terjadi seribu tahun yang lalu, namun masih terasa indah saat-saat sekarang kita kenang. Masih terasa menyentuh. Masih terasa menyindir. Dan menohok. Membuat kita seolah dipaksa untuk tersenyum kecut saat membacanya. Karena dalam bayangan kita, andaikan saat itu kita berada di sana, tentu kita menjadi orang pertama yang bubar jalan dan berebutan untuk melihat gajah. Iya kan? J

 

Hidup Indah adalah Hidup yang Penuh Makna

Sahabat yang budiman, sudah berapa lama kita hidup di dunia, tentu masing-masing kita memiliki jawaban yang berbeda. Ada yang 17 tahun, ada yang 20 tahun, atau lebih. Tapi sudahkah kita sadar dan mengerti apa makna dari kehidupan ini?, dan untuk apa? 

Ah, maaf, saya tidak bermaksud meminta jawaban atas pertanyaan saya di atas. Jadi saya mohon antum (Anda sekalian) tidak perlu berebutan seperti itu untuk menjawab J. Jikapun antum menjawab “sangat sadar dan sangat mengerti”, namun jika suatu saat ketika ada yang bertanya kepada antum “Lagi apa, bro?” dan antum menjawab “Ini lagi iseng OL buat ngisi waktu”, itu pertanda bahwa kita belum mengerti apa makna hidup ini.[1] Itu bukti bahwa kita tidak bisa memaknai anugrah hidup ini? 

Kog gitu? Ya iyalah, tentu saja. ‘Kan kita sendiri yang bilang, bahwa kita telah mengisi hidup ini dengan perbuatan “iseng”. Bahkan saking bingungnya (karena merasa kebanyakan waktu), dan tidak tahu mau buat apa waktu-waktu tersebut, akhirnya ya itu tadi.. kita mengisinya dengan perbuatan-perbuatan iseng. Padahal Allah SWT berfirman,

Kamu tinggal di bumi hanya sebentar saja.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 114)

Dan supaya lebih tegas, Allah SWT mengikuti pernyataan-Nya di atas dengan sebuah pertanyaan, “Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun [23]: 115)

Sahabat, pertanyaan Allah di atas begitu menohok kita. Betapa terkadang, dan bahkan seringkali, kita menghargai hidup ini hanya dengan main-main. Hanya sekedar iseng-iseng. Sehingga isi hidup kita pun hanya sekedar main-main dan iseng-iseng tersebut. Waktu-waktu dan hari-hari milik kita terlalu murah kita obral.


Salim A. Fillah, dalam bukunya Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim, menganalogikan antara orang yang bisa memaknai hidup dan orang yang tidak bisa memaknai hidup dengan “orang yang menyelam dengan orang yang tenggelam”. Sama-sama terbenam dalam air, namun beda kondisi dan hasilnya. Orang yang menyelam akan bisa melihat dan menikmati suasana serta pemandangan alam di bawah air. Bisa mengagumi, mensyukuri, menyentuh, dan menghayati berbagai keaneka-ragaman ciptaan Allah yang ada dan tersebar di alam ini. 

Lain halnya dengan orang yang tenggelam. Segagah apa pun ia melangkah, seindah apa pun ia meloncat, secepat apa pun ia melesat, dan seanggun apa pun ia bergaya, namun jika akhirnya hanya untuk tenggelam, kita yang menonton pun malah terpaksa mengurut dada. Trenyuh. Karena mereka tidak bisa mensyukuri dan menikmati suasana dan keaneka-ragaman alam bawah air yang menakjubkan itu, bahkan sentuhan lembut riak air pun mereka rasakan sebagai gelombang yang menyeret dan mengombang-ambingkan tubuh mereka. Menyedot mereka ke dalam pusaran kegelapan tak berujung di dasar samudra.

So, menyelam atau tenggelam, itu pilihan masing-masing kita. Namun yakinlah, bahwa hanya mereka-mereka yang bisa memaknai hiduplah yang akan merasakan kehidupan paling indah, baik di dunia maupun di akhirat.

Tetapkan Visi

Visi, dalam bahasa Abdurrahman Naser Al-Malhouk, penulis buku Al-Buushulatush Shahshiyyah, adalah gambaran atau visualisasi secara rinci dan detail mengenai tujuan yang ingin kita raih atau kita wujudkan pada suatu titik waktu tertentu di masa yang akan datang.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa visi adalah tujuan yang ingin kita raih. Ketika kita memiliki visi, maka segala langkah dan tindakan kita akan terarah menuju visi tersebut. Seperti orang yang berangkat ke sekolah atau kampus, maka langkahnya mantab terayun melewati jalan-jalan yang akan mengantarkannya menuju sekolah atau kampus. Tidak bingung, tidak ragu, dan bahkan ketika tersesat atau tidak tahu jalan pun ia masih bisa bertanya pada orang di jalan, “Mana jalan menuju kampus X?”

Lain dengan orang yang berjalan tanpa visi atau tujuan, kadang bingung dan ragu. Tiap kali bertemu persimpangan, dia akan berfikir mau belok ke mana. Ke kanan atau ke kiri. Lebih repot lagi ketika dia tersesat jalan, mau bertanya arah ke mana? Akhirnya dia hanya bertanya mana jalan menuju pulang. Kembali ke titik 0. Tidak memperoleh apa-apa kecuali hanya mubeng-mubeng saja.

So, supaya langkah-langkah hidup Anda semakin teratur dan terarah menuju satu tujuan yang pasti, maka segera tetapkan visi.

Merumuskan Misi
 
Jika visi adalah tujuan, maka misi adalah rencana atau agenda yang akan Anda lakukan untuk mencapai tujuan (visi) kita tersebut. Jika kita memiliki tujuan ke kampus atau sekolah, maka kita akan menetapkan cara dan jalan agar bisa sampai ke sana. Jika kita memiliki visi hidup untuk masuk surga, maka kita akan berupaya melakukan hal-hal yang akan mengantarkan kita ke padanya. Jika kita memiliki visi sukses berkarir, maka kita akan merancang agenda dan rencana agar bisa mewujudkannya.

Namun banyak kita saksikan, orang berjalan tanpa visi dan misi yang jelas. Mengalir seperti air, katanya. Padahal air mengalir menuju tempat yang lebih rendah. Artinya menurun. Maka rumus ini hanya cocok bagi mereka yang ingin melorot, dari sukses menuju gagal, dari hero to zero. Pokoknya  lancar meluncur menuju hancur.


Kita masuk sekolah pun kadang asal saja. Asal sekolah favorit, asal nilai cukup, bahkan asal sekolah (daripada nganggur di rumah, ya ‘kan?). Jarang kita temui ada orang yang berfikir untuk memilih sebuah sekolah X, karena sekolah itu memiliki jurusan Y, kemudian saya akan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi XX yang memiliki jurusan Y juga, sebab kelak saya ingin berprofesi sebagai Y. Tepat dan terarah sejak dini. Tidak belak-belok. Tidak zigzag. Tidak bingung dan ragu mau belok ke mana tiap kali bertemu dengan persimpangan jalan.


Konsisten pada Visi dan Misi

Sahabat, yuk, mari kita lihat kembali kisah di atas tadi. Kisah tentang Ibnu Wahab, ya.. pelajar belia dari negeri fir’aun. Dia memiliki visi yang jelas. Apa itu? Coba cermati, bukankah visi itu tersurat jelas dalam ucapannya kepada sang guru, Imam Malik?
“Guru, jauh-jauh saya datang kemari adalah untuk belajar ilmu kepadamu.”
 
Misinya pun jelas, karena Ibnu Wahab menempuh perjalanan jauh dari Mesir hingga Madinah agar bisa belajar kepada Imam Malik. Dan ketika godaan datang, mengajaknya untuk sesekali keluar dari jalur visi dan misi, maka Ibnu Wahab menahan diri. Meskipun itu hanya berupa menonton sebuah sirkus atau parade gajah. Inilah bukti kekonsistenan Ibnu Wahab. Dan hasilnya, beliau sukses bukan? Lantas bagaimana dengan kita?

Penulis : Z. Ansya N.





[1] Harap dipahami, bahwa ini bukan masalah OL-nya, tetapi masalah apa niat dan tujuan kita saat OL. Apakah hanya iseng-iseng dan buang waktu saja, atau memang ada tujuan yang bermakna.

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "Tentang Hidup"

Post a Comment