Al Qur-an adalah penyejuk hati orang yang
beriman, cahaya yang menerangi dadanya, penghilang kegelisahan dan
kegundahan. Di dalamnya ada perangai-perangai iman, hukum-hukum yang
adil dan kisah-kisah yang mengandung pelajaran berharga bagi orang-orang
yang berakal. Sulit rasanya berpisah dengan Al Qur-an, meski hanya
sekejap. Sempit dan hampa rasanya hidup tanpa Al Qur-an.
[A] - Keutamaan Membaca Al Qur-an
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapa yang membaca sepuluh ayat dalam satu malam, dia tidak dianggap sebagai orang-orang yang lalai.” [HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim. At Targhib wat-Tarhib, no. 2089]
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisy rahimahullah berkata:
“Siapa yang memiliki mushaf (Al Qur-an) selayaknya membaca Al Qur-an setiap hari beberapa ayat yang ringan (tidak banyak) agar Al Qur-an tidak menjadi sesuatu yang ditinggalkan.” [Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 68]
Imam Ibnu Rajab rahimahullah juga berkata:
“Termasuk sebesar-besar amalan yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dari amalan-amalan Sunnah (Nafilah) adalah memperbanyak membaca Al Qur-an, mendengarnya dengan tafakkur (perenungan), tadabbur (penghayatan) dan tafahhum (pemahaman).” [Jami’ Al ‘Ulum wal-Hikam]
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Siapa menjaga shalat lima waktu, dia tidak dianggap sebagai orang-orang yang lalai dan siapa yang membaca 100 ayat dalam satu malam, dia dianggap sebagai qanitiin (ahli ibadah).”[HR. Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim, beliau menilai hadits ini shahih sesuai dengan syarat Imam Al Bukhari dan Muslim]
Hanya saja, jangan hanya berhenti sampai membaca Al Qur-an tanpa mempelajarinya dan mengamalkan ajaran Al Qur-an, karena Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk ke jalan yang lurus, sehingga tidak cukup hanya membaca huruf-hurufnya.
Dari An Nawwas bin Sam’an radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يُؤْتَى يَوْمَ الْقِيامَةِ بِالْقُرْآنِ وَأَهْلِهِ الَّذِيْنَ كانُوا يَعْمَلُوْنَ بِهِ فِي الدُّنْيا تَقَدَّمَهُ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَآلِ عِمْرانَ تَحاجَّانِ عَنْ صَاحِبِهِمَا
“Pada Hari Kiamat akan didatangkan Al Qur`an bersama mereka yang mengamalkannya di dunia. Yang terdepan adalah Surah Al Baqarah dan Ali Imran, keduanya akan membela mereka yang mengamalkannya.” [HR. Muslim, no. 805]
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“… Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan, bahwa siapa yang membaca Al Qur-an dan mengamalkan (isi)-nya kelak ketika tiba Hari Kiamat Surat Al Baqarah dan Ali ‘Imran berada di depannya. Keduanya membela orang yang membaca dan mengamalkan (isi)-nya di Hari Kiamat. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits ini mengaitkan: ‘membaca Al Qur-an’ dengan ‘mengamalkan (isi)-nya’.
Karena, orang-orang yang membaca Al Qur-an terbagi menjadi dua golongan, (yaitu):
(1) - Golongan yang tidak mengamalkan (isi) Al-Qur’an.
Dia tidak mengimani khabar-khabar Al Qur-an, tidak melaksanakan hukum-hukumnya, maka Al Qur-an menjadi musuh mereka.
(2) - Golongan lain, (yang) mengimani khabar-khabar Al Qur-an.
(Mereka) membenarkan dan mengamalkan hukum-hukumnya, maka Al Qur-an menjadi pembela yang membela mereka di Hari Kiamat.
Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَالقُرْاَنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Al Qur-an itu bisa menjadi pembelamu, atau musuh bagimu.” [Syarh Riyadhish Shalihin, Juz 4, hal. 236]
Sungguh, Allah mencela orang-orang yang meninggalkan Al Qur-an. Allah Ta’ala berfirman:
(( وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا ))
Berkatalah Rasul, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur-an itu sesuatu yang tidak diacuhkan (ditinggalkan).” [QS. Al Furqan, 30]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Orang-orang musyrik (dahulu), jika dibacakan Al Qur-an, mereka memperbanyak suara-suara dan berbicara tentang selainnya, hingga mereka tidak mendengar Al Qur-an. (Hal) ini termasuk meninggalkan Al Qur-an.
Tidak mempelajarinya, tidak menghafalnya juga termasuk meninggalkan Al Qur-an. Tidak mengimani Al Qur-an dan (tidak) membenarkannya, termasuk meninggalkan Al Qur-an. Tidak mentadabburinya dan (tidak) berusaha memahaminya, termasuk meninggalkan Al Qur-an. Tidak mengamalkan (isi) Al Qur-an, tidak melaksanakan perintah-perintahnya dan tidak meninggalkan larangan-larangannya termasuk meninggalkan Al Qur-an.
Berpaling dari Al Qur-an dan pindah kepada selain Al Qur-an, baik berupa sya’ir, perkataan, nyanyian, permainan yang melalaikan, percakapan, atau jalan (peraturan) yang diambil dari selain Al Qur-an, termasuk meninggalkan Al Qur-an.”
[B] - Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Membaca Al Qur-an, Ketika Berhadats Besar dan Sebab Terjadinya Perbedaan
Tidak ada yang mengingkari, bahwa seorang muslim yang membaca Al Qur-an dalam keadaan suci adalah lebih utama. Ulama berbeda pendapat bagaimana, jika seorang yang sedang hadats besar membaca Al Qur-an.
‘Hadats’ adalah sifat (bukan benda) dan tidak tampak yang menempel di tubuh seseorang dan menghalangi sahnya shalat dan ibadah lain yang disyaratkan bersuci padanya. Hadats ada dua, (yaitu): hadats kecil dan hadats besar. Hadats besar disebabkan ‘ihtilam (mimpi basah)’, hubungan suami istri, haid, maupun nifas.
Imam Ibnu Rusydi rahimahullah di dalam kitabnya ‘Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid’ berkata:
“Masalah yang ke tiga: Membaca Al Qur-an bagi orang yang junub (berhadats besar). Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh melakukannya dan sebagian ulama berpendapat boleh. Sebab terjadinya perbedaan pendapat, yaitu adanya kemungkinan yang terlintas di hadits ‘Ali bin Abi Thalib, beliau berkata:
‘Dahulu Nabi ‘alaihish shalatu wassalam tidak ada sesuatupun yang menghalanginya dari membaca Al Qur-an, kecuali janabah.’
Sisi perbedaannya, sebagian ulama berkata:
‘Perkataan ‘Ali bin Abi Thalib ini tidak terdapat konsekuensi apapun, karena ia hanyalah persangkaan perawi hadits. Dan darimana seseorang mengetahui, bahwa beliau tidak membaca Al Qu-an karena janabah, kecuali jika memang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan hal itu?
Mayoritas ulama memandang, bahwa ‘Ali radhiyallahu ‘anhu tidak lah mengatakan hal itu dari perkiraan, atau persangkaan, beliau berkata seperti itu disertai keyakinan.
Sebagian ulama menyamakan wanita haidh dalam hal perbedaan pendapat ini seperti orang junub.
Sebagian ulama membedakan antara keduanya, mereka membolehkan wanita haidh membaca Al-Qur’an sedikit….”
Sehingga jelas bagi kita, bahwa yang menyebabkan ulama berbeda pendapat adalah riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib yang kandungannya adalah pemberitahuan, bahwa ketika junub (ber-hadats besar) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membaca Al Qur-an.
[C] - Keabsahan Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
Karena yang menjadi sebab perbedaan adalah riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tersebut, maka yang pertama dilakukan adalah meninjau keabsahan riwayat, sebelum mengambil kesimpulan hukum. Karena mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil bisa dilakukan setelah diketahui keabsahan dalil tersebut. Tentang keabsahan riwayat tersebut, ada ulama yang menilainya sebagai riwayat yang lemah dan ada yang menilainya kuat.
Dan riwayat ‘Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ini ada banyak redaksi, di antaranya,
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa membacakan Al Qur-an kepada kami selama beliau tidak junub.” [Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzy, An-Nasaa-i]
Riwayat ini dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan dinilai hasan oleh At Tirmidzy. Dan sebagian ulama menganggapnya riwayat yang lemah.
Dan dalam redaksi yang lain ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada yang menghalanginya dari (membaca) Al Qur-an selain janabah.” [Riwayat At Tirmidzy, Abu Dawud, Ibnu Majah dan An Nasaa-i]
Riwayat ini dinilai lemah oleh para imam, diantaranya: Asy Syafi’i, Ahmad, Al Baihaqy dan Al Khaththaby begitu juga Syaikh Al Albany rahimahumullah.
[D] - Riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu Tidak Menunjukkan Haramnya Seorang yang Junub Membaca Al Qur-an
Seandainya kita memilih pendapat yang menilai, bahwa riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah riwayat yang kuat, inipun tidak menunjukkan haramnya seorang yang junub, maupun haidh membaca Al Qur-an. Karena apa yang dikatakan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu hanyalah khabar dari suatu perbuatan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak melarangnya secara tegas.
Imam Asy-Syaukany di dalam kitab ‘Nailul Authar’ berkata:
“Tidak ada di dalamnya sesuatu yang menunjukkan haramnya (seseorang yang junub membaca Al Qur-an), karena puncaknya hanyalah khabar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membaca Al Qur-an ketika junub. Dan yang seperti ini tidak tepat dijadikan pegangan untuk (meyakini) makruh, maka bagaimana bisa berdalil dengannya untuk mengharamkan?”
[E] – Hadits, Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Berdzikir di Setiap Kesempatan
Kita ketahui, bahwa membaca Al Qur-an termasuk dzikir, bahkan sebaik-baik dzikir. Dan salah satu nama Al Qur-an adalah Adz Dzikr. Sedangkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ber-dzikir di semua keadaan. Yaitu, keadaan selain ketika buang hajat (kecil maupun besar), atau jima’.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
“Rasulullah biasa menyebut nama Allah (dzikir) di semua keadaannya.” [HR. Muslim]
Inilah hadits yang dijadikan dalil ulama yang mengatakan, bahwa boleh seorang yang junub maupun wanita haidh membaca Al Qur-an. Dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan yang terkenal dari pendapat Asy Syafi’i.
[F] - Menyentuh Mushaf
Ini juga masalah yang diperselisihkan para ulama tentang boleh dan tidaknya. Dalil bagi mereka yang mengatakan, bahwa tidak boleh bagi wanita haidh, maupun seorang yang junub menyentuh Al Qur-an adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Tidak menyentuh Al Qur-an, kecuali orang suci.” [Majma’ Az Zawaid, Imam Al Haitsamy, Subulus Salam, Tahqiq Syaikh Al Albany]
Diantara ulama ada yang mengatakan, bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan menyentuh mushaf bagi wanita haidh, maupun seorang yang junub. Karena kata (طاهر) ‘orang suci’ dalam Bahasa Arab mencakup beberapa makna:
1. Orang beriman yang suci dari hadats besar;
2. Orang beriman yang suci dari hadats kecil;
3. Orang beriman yang suci dari hadats besar maupun kecil;
4. Orang beriman yang di badannya tidak ada najis.
Karena masih banyak kemungkinan, maka belum bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan menyentuh mushaf bagi orang yang junub, maupun wanita haidh. Orang beriman yang sedang berhadats besar juga dinamakan orang suci. Wanita beriman yang sedang haidh juga dinamakan orang suci .Yaitu, suci karena imannya, bukan orang kafir. Sehingga makna hadits adalah:
“Tidak menyentuh Al Qur-an, kecuali orang beriman.”
Maka yang tidak boleh menyentuh Al Qur’an adalah orang kafir. Oleh karena itu, ada hadits shahih yang mengatakan, bahwa orang beriman itu tidak najis. Dan ini adalah pendapat Dawud Azh Zhahiry, Ibnu Hazm dan dipilih Syaikh Al Albany dan Syaikh Mushthafa Al ‘Adawy.
Kesimpulannya, tidak mengapa seorang yang junub, maupun wanita haidh membaca maupun menyentuh mushaf, karena keduanya adalah orang beriman dan orang beriman itu tidak najis. Ditambah lagi tidak ada dalil yang tegas yang mengharamkan seorang yang junub, maupun wanita haidh membaca, maupun menyentuh Al Qur-an.
Sumber : Buletin Al-Minhaj
| Wallahu a’lam bish shawab..
| Oleh: Fajri NS..
| Edisi: 43 | Tahun VIII
| Terbit: 3 Rajab 1435 H | 2 Mei 2014 M
[A] - Keutamaan Membaca Al Qur-an
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapa yang membaca sepuluh ayat dalam satu malam, dia tidak dianggap sebagai orang-orang yang lalai.” [HR. Al-Hakim, beliau menilai hadits ini shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim. At Targhib wat-Tarhib, no. 2089]
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisy rahimahullah berkata:
“Siapa yang memiliki mushaf (Al Qur-an) selayaknya membaca Al Qur-an setiap hari beberapa ayat yang ringan (tidak banyak) agar Al Qur-an tidak menjadi sesuatu yang ditinggalkan.” [Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 68]
Imam Ibnu Rajab rahimahullah juga berkata:
“Termasuk sebesar-besar amalan yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dari amalan-amalan Sunnah (Nafilah) adalah memperbanyak membaca Al Qur-an, mendengarnya dengan tafakkur (perenungan), tadabbur (penghayatan) dan tafahhum (pemahaman).” [Jami’ Al ‘Ulum wal-Hikam]
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Siapa menjaga shalat lima waktu, dia tidak dianggap sebagai orang-orang yang lalai dan siapa yang membaca 100 ayat dalam satu malam, dia dianggap sebagai qanitiin (ahli ibadah).”[HR. Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim, beliau menilai hadits ini shahih sesuai dengan syarat Imam Al Bukhari dan Muslim]
Hanya saja, jangan hanya berhenti sampai membaca Al Qur-an tanpa mempelajarinya dan mengamalkan ajaran Al Qur-an, karena Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk ke jalan yang lurus, sehingga tidak cukup hanya membaca huruf-hurufnya.
Dari An Nawwas bin Sam’an radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يُؤْتَى يَوْمَ الْقِيامَةِ بِالْقُرْآنِ وَأَهْلِهِ الَّذِيْنَ كانُوا يَعْمَلُوْنَ بِهِ فِي الدُّنْيا تَقَدَّمَهُ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَآلِ عِمْرانَ تَحاجَّانِ عَنْ صَاحِبِهِمَا
“Pada Hari Kiamat akan didatangkan Al Qur`an bersama mereka yang mengamalkannya di dunia. Yang terdepan adalah Surah Al Baqarah dan Ali Imran, keduanya akan membela mereka yang mengamalkannya.” [HR. Muslim, no. 805]
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“… Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan, bahwa siapa yang membaca Al Qur-an dan mengamalkan (isi)-nya kelak ketika tiba Hari Kiamat Surat Al Baqarah dan Ali ‘Imran berada di depannya. Keduanya membela orang yang membaca dan mengamalkan (isi)-nya di Hari Kiamat. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits ini mengaitkan: ‘membaca Al Qur-an’ dengan ‘mengamalkan (isi)-nya’.
Karena, orang-orang yang membaca Al Qur-an terbagi menjadi dua golongan, (yaitu):
(1) - Golongan yang tidak mengamalkan (isi) Al-Qur’an.
Dia tidak mengimani khabar-khabar Al Qur-an, tidak melaksanakan hukum-hukumnya, maka Al Qur-an menjadi musuh mereka.
(2) - Golongan lain, (yang) mengimani khabar-khabar Al Qur-an.
(Mereka) membenarkan dan mengamalkan hukum-hukumnya, maka Al Qur-an menjadi pembela yang membela mereka di Hari Kiamat.
Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَالقُرْاَنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Al Qur-an itu bisa menjadi pembelamu, atau musuh bagimu.” [Syarh Riyadhish Shalihin, Juz 4, hal. 236]
Sungguh, Allah mencela orang-orang yang meninggalkan Al Qur-an. Allah Ta’ala berfirman:
(( وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا ))
Berkatalah Rasul, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur-an itu sesuatu yang tidak diacuhkan (ditinggalkan).” [QS. Al Furqan, 30]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Orang-orang musyrik (dahulu), jika dibacakan Al Qur-an, mereka memperbanyak suara-suara dan berbicara tentang selainnya, hingga mereka tidak mendengar Al Qur-an. (Hal) ini termasuk meninggalkan Al Qur-an.
Tidak mempelajarinya, tidak menghafalnya juga termasuk meninggalkan Al Qur-an. Tidak mengimani Al Qur-an dan (tidak) membenarkannya, termasuk meninggalkan Al Qur-an. Tidak mentadabburinya dan (tidak) berusaha memahaminya, termasuk meninggalkan Al Qur-an. Tidak mengamalkan (isi) Al Qur-an, tidak melaksanakan perintah-perintahnya dan tidak meninggalkan larangan-larangannya termasuk meninggalkan Al Qur-an.
Berpaling dari Al Qur-an dan pindah kepada selain Al Qur-an, baik berupa sya’ir, perkataan, nyanyian, permainan yang melalaikan, percakapan, atau jalan (peraturan) yang diambil dari selain Al Qur-an, termasuk meninggalkan Al Qur-an.”
[B] - Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Membaca Al Qur-an, Ketika Berhadats Besar dan Sebab Terjadinya Perbedaan
Tidak ada yang mengingkari, bahwa seorang muslim yang membaca Al Qur-an dalam keadaan suci adalah lebih utama. Ulama berbeda pendapat bagaimana, jika seorang yang sedang hadats besar membaca Al Qur-an.
‘Hadats’ adalah sifat (bukan benda) dan tidak tampak yang menempel di tubuh seseorang dan menghalangi sahnya shalat dan ibadah lain yang disyaratkan bersuci padanya. Hadats ada dua, (yaitu): hadats kecil dan hadats besar. Hadats besar disebabkan ‘ihtilam (mimpi basah)’, hubungan suami istri, haid, maupun nifas.
Imam Ibnu Rusydi rahimahullah di dalam kitabnya ‘Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid’ berkata:
“Masalah yang ke tiga: Membaca Al Qur-an bagi orang yang junub (berhadats besar). Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh melakukannya dan sebagian ulama berpendapat boleh. Sebab terjadinya perbedaan pendapat, yaitu adanya kemungkinan yang terlintas di hadits ‘Ali bin Abi Thalib, beliau berkata:
‘Dahulu Nabi ‘alaihish shalatu wassalam tidak ada sesuatupun yang menghalanginya dari membaca Al Qur-an, kecuali janabah.’
Sisi perbedaannya, sebagian ulama berkata:
‘Perkataan ‘Ali bin Abi Thalib ini tidak terdapat konsekuensi apapun, karena ia hanyalah persangkaan perawi hadits. Dan darimana seseorang mengetahui, bahwa beliau tidak membaca Al Qu-an karena janabah, kecuali jika memang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan hal itu?
Mayoritas ulama memandang, bahwa ‘Ali radhiyallahu ‘anhu tidak lah mengatakan hal itu dari perkiraan, atau persangkaan, beliau berkata seperti itu disertai keyakinan.
Sebagian ulama menyamakan wanita haidh dalam hal perbedaan pendapat ini seperti orang junub.
Sebagian ulama membedakan antara keduanya, mereka membolehkan wanita haidh membaca Al-Qur’an sedikit….”
Sehingga jelas bagi kita, bahwa yang menyebabkan ulama berbeda pendapat adalah riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib yang kandungannya adalah pemberitahuan, bahwa ketika junub (ber-hadats besar) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membaca Al Qur-an.
[C] - Keabsahan Hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
Karena yang menjadi sebab perbedaan adalah riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tersebut, maka yang pertama dilakukan adalah meninjau keabsahan riwayat, sebelum mengambil kesimpulan hukum. Karena mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil bisa dilakukan setelah diketahui keabsahan dalil tersebut. Tentang keabsahan riwayat tersebut, ada ulama yang menilainya sebagai riwayat yang lemah dan ada yang menilainya kuat.
Dan riwayat ‘Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ini ada banyak redaksi, di antaranya,
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa membacakan Al Qur-an kepada kami selama beliau tidak junub.” [Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzy, An-Nasaa-i]
Riwayat ini dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan dinilai hasan oleh At Tirmidzy. Dan sebagian ulama menganggapnya riwayat yang lemah.
Dan dalam redaksi yang lain ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ada yang menghalanginya dari (membaca) Al Qur-an selain janabah.” [Riwayat At Tirmidzy, Abu Dawud, Ibnu Majah dan An Nasaa-i]
Riwayat ini dinilai lemah oleh para imam, diantaranya: Asy Syafi’i, Ahmad, Al Baihaqy dan Al Khaththaby begitu juga Syaikh Al Albany rahimahumullah.
[D] - Riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu Tidak Menunjukkan Haramnya Seorang yang Junub Membaca Al Qur-an
Seandainya kita memilih pendapat yang menilai, bahwa riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah riwayat yang kuat, inipun tidak menunjukkan haramnya seorang yang junub, maupun haidh membaca Al Qur-an. Karena apa yang dikatakan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu hanyalah khabar dari suatu perbuatan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak melarangnya secara tegas.
Imam Asy-Syaukany di dalam kitab ‘Nailul Authar’ berkata:
“Tidak ada di dalamnya sesuatu yang menunjukkan haramnya (seseorang yang junub membaca Al Qur-an), karena puncaknya hanyalah khabar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membaca Al Qur-an ketika junub. Dan yang seperti ini tidak tepat dijadikan pegangan untuk (meyakini) makruh, maka bagaimana bisa berdalil dengannya untuk mengharamkan?”
[E] – Hadits, Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Berdzikir di Setiap Kesempatan
Kita ketahui, bahwa membaca Al Qur-an termasuk dzikir, bahkan sebaik-baik dzikir. Dan salah satu nama Al Qur-an adalah Adz Dzikr. Sedangkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ber-dzikir di semua keadaan. Yaitu, keadaan selain ketika buang hajat (kecil maupun besar), atau jima’.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
“Rasulullah biasa menyebut nama Allah (dzikir) di semua keadaannya.” [HR. Muslim]
Inilah hadits yang dijadikan dalil ulama yang mengatakan, bahwa boleh seorang yang junub maupun wanita haidh membaca Al Qur-an. Dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan yang terkenal dari pendapat Asy Syafi’i.
[F] - Menyentuh Mushaf
Ini juga masalah yang diperselisihkan para ulama tentang boleh dan tidaknya. Dalil bagi mereka yang mengatakan, bahwa tidak boleh bagi wanita haidh, maupun seorang yang junub menyentuh Al Qur-an adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Tidak menyentuh Al Qur-an, kecuali orang suci.” [Majma’ Az Zawaid, Imam Al Haitsamy, Subulus Salam, Tahqiq Syaikh Al Albany]
Diantara ulama ada yang mengatakan, bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan menyentuh mushaf bagi wanita haidh, maupun seorang yang junub. Karena kata (طاهر) ‘orang suci’ dalam Bahasa Arab mencakup beberapa makna:
1. Orang beriman yang suci dari hadats besar;
2. Orang beriman yang suci dari hadats kecil;
3. Orang beriman yang suci dari hadats besar maupun kecil;
4. Orang beriman yang di badannya tidak ada najis.
Karena masih banyak kemungkinan, maka belum bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan menyentuh mushaf bagi orang yang junub, maupun wanita haidh. Orang beriman yang sedang berhadats besar juga dinamakan orang suci. Wanita beriman yang sedang haidh juga dinamakan orang suci .Yaitu, suci karena imannya, bukan orang kafir. Sehingga makna hadits adalah:
“Tidak menyentuh Al Qur-an, kecuali orang beriman.”
Maka yang tidak boleh menyentuh Al Qur’an adalah orang kafir. Oleh karena itu, ada hadits shahih yang mengatakan, bahwa orang beriman itu tidak najis. Dan ini adalah pendapat Dawud Azh Zhahiry, Ibnu Hazm dan dipilih Syaikh Al Albany dan Syaikh Mushthafa Al ‘Adawy.
Kesimpulannya, tidak mengapa seorang yang junub, maupun wanita haidh membaca maupun menyentuh mushaf, karena keduanya adalah orang beriman dan orang beriman itu tidak najis. Ditambah lagi tidak ada dalil yang tegas yang mengharamkan seorang yang junub, maupun wanita haidh membaca, maupun menyentuh Al Qur-an.
Sumber : Buletin Al-Minhaj
| Wallahu a’lam bish shawab..
| Oleh: Fajri NS..
| Edisi: 43 | Tahun VIII
| Terbit: 3 Rajab 1435 H | 2 Mei 2014 M
0 Response to "Membaca dan Menyentuh Al Qur-an Saat Berhadats"
Post a Comment